BILA teknologi informasi dengan puncak-puncak pencapaian yang mengundang decak kagum itu diibaratkan seorang ibu, maka ia adalah perempuan dengan rahim yang sangat subur. Ibu yang melahirkan anak dengan jumlah tak terbatas, atas nama kemungkinan-kemungkinan terbaru dalam berkomunikasi. Anak-anak ini adalah generasi Ubiquitous, istilah yang secara harfiah berarti: mereka yang mewujud sekaligus menyebar di segala dimensi ruang dan waktu. Kehadirannya terasa di mana-mana. Mereka omnipresent.
Bagi media massa, revolusi teknologi informasi telah menciptakan gelombang konvergensi yang luar biasa. Semangat yang melandasi penggabungan berbagai model media itu adalah desakan menjadi Ubiquitous. Tengoklah jargon jaringan televisi terkemuka CNN yang berbasis di Atlanta, AS: “Anda tak perlu mengikuti berita, biarlah berita yang mengikuti Anda!” Paradigma mengikuti berita telah dibongkar tuntas. Kini, tak ada lagi istilah ketinggalan berita. Segala informasi penting yang diproduksi di ruang redaksi nun jauh di sana menjelma sesuatu yang begitu lekat: menguntit ke mana saja Anda pergi, sedekat bayangan tubuh sendiri. Tayangan yang dulu hanya hadir di layar kaca kini berubah wujud menjadi berita singkat dalam bentuk layanan pesan pendek (SMS) di telepon seluler mungil di dalam genggaman dan berita online di layar komputer. Inilah era di mana berita yang mencari Anda!
Di industri media cetak, gemuruh konvergensi tak kalah dahsyatnya. Pembaca tradisional seperti menyaksikan sulap yang lebih canggih dari aksi David Copperfield: berita yang dulunya hanya sampai setelah loper melempar koran ke halaman rumah, kini menjadi sandi-sandi digital yang melesat lincah laksana meteor, menerobos ruang dan waktu, menyusup seketika ke dalam kotak pesan di telepon seluler dan juga dapat dibaca hanya dengan sekali klik di alamat situs Web media.
Tak pelak lagi, penggabungan layanan komunikasi super canggih dengan konvergensi yang dilakukan perusahaan media di seluruh dunia menjadi catatan perubahan penting di paruh pertama abad 21. Hampir semua media, cetak maupun elektronik, membuka divisi online. Di lain pihak, media online sendiri berusaha mengeksplorasi breaking news dan segala bentuk interaksi pembaca hingga ke tingkat yang paling maksimum. Lihatlah media online yang paling berhasil di Indonesia, Detik.com. Perkembangan sebuah peristiwa dari menit ke menit diupayakan sedemikian rupa oleh situs ini. Embrio berita utama dan investigasi media lainnya bahkan sering kali merujuk pada Detik.com. Sementara Forum Pembaca dengan sejumlah segmen yang sengaja dipisah berdasarkan minat dan bidang (dari olahraga, teknologi, gosip selebriti hingga blog pembaca), telah menggeser peran kolom Surat Pembaca di media tradisional. Di media online, suara pembaca bukan lagi pelengkap, tapi menjadi bagian penting sekaligus tidak terpisahkan dari isi berita secara keseluruhan.
Kecepatan dan penyajian berita secara simultan yang dulunya didominasi radio dan televisi, memang telah direbut oleh media online. Ketersediaan jaringan internet yang semakin luas dan terjangkau juga semakin mengukuhkan tradisi baru bagi konsumen berita: ingin tahu berita terkini, cukup periksa ponsel atau laptop Anda.
Demikian juga bila Anda ingin menulis berita, tak perlu melamar sebagai wartawan, jadilah warga yang menyampaikan kabar. Kini, semakin banyak media mainstream yang mengakui pentingnya kehadiran citizen journalism alias jurnalisme warga. CNN tak henti mempromosikan i-Report, rubrik terbuka bagi siapa saja yang hendak mengirim foto, rekaman video dan laporan. Kantor berita Reuters bekerjasama dengan Yahoo! mengajak pengguna perangkat teknologi digital untuk mengisi You Witness News. Di tengah peristiwa besar yang mencuri perhatian dunia, dari Tsunami Samudera Hindia 2004, Bom London 2005, hingga pemilihan Presiden AS, serangan teroris di Mumbai dan tragedi Gaza di paruh kedua 2008, peran para citizen reporter mendapat perhatian luas dan pengakuan tinggi.
Pemaparan tentang citizen journalism bisa tergelar panjang bila kita hendak menelusuri media yang murni mengandalkan partisipasi warga sebagai pewarta, semisal Ohmynews di Seoul, Korea Selatan dengan lebih dari 20.000 citizen reporter, baik yang tersebat di di Korea Selatan maupun di berbagai negara. Juga ada NowPublic di Kanada yang memiliki ruang redaksi virtual yang menjalankan prinsip selayaknya kantor media tradisional.
Argumen pionir citizen journalism, Prof. Dan Gillmor yang dilontarkan tiga tahun lalu lewat buku We Media: Grassroots Journalism by the People, for the People, semakin menemukan konfirmasi kebenarannya hari ini. Ia memprediksi bahwa perampingan ruang redaksi media tradisional sehingga banyak media yang mengandalkan kantor berita (wired news), semakin kencangnya persaingan bisnis pers yang sekaligus membuat media semakin berorientasi pasar sehingga cenderung meninggalkan peran pengabdiannya pada publik, membuat pengguna Internet dan perangkat teknologi digital lainnya lahir sebagai penyelamat.
Di luar peristiwa-peristiwa dahsyat yang membuat media mainstream berebutan mengajak warga mengirim berita, sebenarnya para citizen reporter inilah yang mengisi peran mulia yang semakin ditinggalkan banyak wartawan profesional: mengabarkan kepentingan komunitas, akar rumput dan menciptakan percakapan publik kritis. Mereka, para warga biasa yang tidak pernah menempatkan diri sebagai saingan wartawan profesional. Mereka adalah generasi Ubiquitous yang menyatakan sekaligus merayakan eksistensi di dunia cyber, yang berceloteh santai dan bebas di blog pribadi, membagi foto di Flickr, menayangkan rekaman video di Youtube, membangun jejaring sosial di Facebook atau Friendster, hingga menulis kabar atau analisa yang memenuhi kaidah jurnalistik di situs citizen journalism atau di media tradisional yang memiliki rubrik jurnalisme warga.
Eksistensi, Sinergi dan Semangat Berbagi
Setelah pakar, pengamat dan praktisi bisnis berpanjang lebar membahas fitur-fitur canggih ponsel, mulai dari kamera, video kamera, layanan internet serta terobosan lainnya untuk menguasai pasar, termasuk jor-joran tarif dari penyedia jasa telepon seluler dan internet, kini giliran konsumen dan industri media yang bergegas tancap gas memenuhi kebutuhan Ubiquitous itu.
Reposisi peran sekaligus revisi terhadap pendekatan-pendekatan yang dilakukan media massa selama ini, tak pelak lagi mendapatkan momentum di tengah gelombang revolusi teknologi informasi. Sementara di lain pihak, barisan pengguna perangkat teknologi digital kian panjang dan semakin mendapat pengakuan. Harian Kompas, misalnya, mengibarkan bendera Kompas.com (dahulu Kompas Cyber Media) dengan sejumlah pendekatan baru. Di situs www.kompas.com, isi Kompas Cetak “hanya” hadir melalui navigasi bertulis “cetak” yang sejajar dengan 14 tombol navigasi lainnya ,yang empat di antaranya menjadi bentuk pengakuan pada interaksi pembaca (diwakili oleh Forum, Community, Kompasiana dan Videoku TV). Peran bagi pembaca terbuka semakin luas dan inilah yang mempertegas warna media baru di era internet: jurnalisme sebagai percakapan (merujuk pada argumen Prof. Dan Gillmor: journalism as a conversation).
Tak pelak lagi, divisi online media cetak, radio dan televisi menjadi unit kerja yang sibuk. Keterhubungan yang semakin canggih memang menjadi gerbang bagi generasi Ubiquitous untuk membuka kerjasama dengan media. Sementara di sisi lain, sejumlah media mainstream semakin membuka diri kepada audiens mereka. “Have your say!” adalah seruan yang kian jamak terdengar di ujung berita televisi dan radio, mengundang kita bersuara. Sama halnya dengan kolom komentar yang terbuka lebar di ujung berita di media online, menggoda kita menorehkan pandangan dan perspektif.
0 komentar:
Posting Komentar